Menjadi salah satu pintu gerbang internasional Indonesia dengan arus wisatawan asing tertinggi, justru tidak menjadikan Bali sebagai episentrum pandemi Covid-19. Sebaliknya, penambahan kasusnya cenderung landai dengan tingkat kematian rendah. Karantina parsial desa adat serta kesadaran masing-masing warganya untuk tetap tinggal di rumah menjadi salah satu kunci untuk mengurangi lajunya peningkatan kasus.
Bali sebagai daerah wisata terkenal di Indonesia maupun level internasional akan selalu mengundang orang untuk datang. Arus mobilitas keluar masuk ke Bali cukup tinggi. Sebagai gambaran, jumlah penumpang yang keluar dan masuk melalui Bandara Ngurai Rai pada 2018 mencapai 11,1 juta. Angka ini berada di posisi ketiga setelah Bandara Cengkareng dan Juanda. Arus penumpang yang melalui Pelabuhan pada Januari 2020 mencapai 265.492 orang.
Wisatawan mancanegara yang masuk ke Bali pun cukup banyak. Catatan BPS, wisatawan mancanegara yang masuk melalui Bandara Ngurah Rai selama 2019 mencapai 6,24 juta orang. Angka tersebut tertinggi dibandingkan bandara internasional lainnya.
Wisatawan China dan Australia mendominasi kunjungan ke Bali selama Desember 2019-Januari 2020. Tercatat di BPS Bali (Januari 2020), ada 111.416 wisatawan dari China yang berkunjung ke Bali. Disusul 102.178 wisatawan dari Australia. Sisanya sekitar 313.000 turis dari India, Rusia, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Malaysia, dan Singapura.
Tingginya arus wisatawan asing ke Bali, membuat Bali beresiko sebagai pusat penyebaran virus Corona. Namun, nyatanya menurut laporan Kementerian Kesehatan, pasien positif Korona baru ditemukan tanggal 11 Maret 2020. Pertambahan kasusnya tiap hari pun cenderung melambat. Hingga 23 April hanya ditemukan 167 kasus positif, sebanyak 55 pasien sembuh. Kasus kematiannya pun rendah, 4 orang atau dengan angka kematian 2,4 persen.
Mengapa kasus Covid-19 di Bali cenderung landai? Bandingkan dengan Jakarta sebagai gerbang internasional yang lain. Hingga 23 April, kasus positif di Jakarta sudah mencapai 3.517 kasus dengan angka kematian 8,6 persen.
Kasus Impor
Kasus pertama di Bali muncul tanggal 11 Maret dan langsung dilaporkan meninggal. Pasien berjenis kelamin perempuan tersebut merupakan Warga Negara Asing (WNA) dan termasuk kasus ke-25 nasional. Namun, saat itu sebelum hasil tes keluar, pasien yang sudah menderita berbagai komplikasi penyakit tersebut telanjur meninggal.
Setelah itu, baru 20 Maret, tercatat tiga kasus positif, 1 orang merupakan WNA dan 1 orang lainnya WNI. Penemuan kasus selanjutnya terjadi pada 23 Maret, itupun dengan penambahan dua kasus. Sampai akhir Maret penambahan pasien yang positif Korona hanya berkisar satu hingga 9 orang. Bahkan ada beberapa hari tidak ada penambahan pasien. Itupun penderitanya rata-rata adalah WNA yang sebelumnya tubuhnya sudah membawa virus dari negara asalnya.
Kasus awal April, sejumlah WNI mulai mulai tertular. Namun, rata-rata tertular dari luar Bali (imported case). Sebagian besar pasien WNI merupakan Pekerja Migran Internasional (PMI) yang bekerja di luar negeri dan pulang ke Bali karena negara tempat kerjanya juga terjadi wabah.
Dari awal Maret, Pemprov Bali telah menyiapkan tempat karantina khusus bagi para pekerja migran tersebut di Gedung Bapeleksmas dan BPSDM. Bahkan saat di Bandara Ngurah Rai Bali, sudah ada pemeriksaan ketat seperti pengecekan suhu dan rapid test. Jika hasil rapid test negatif, mereka diarahkan untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing dengan pengawasan dari pemerintah kabupaten/kota dan Satgas Gotong Royong Desa Adat.
Jika hasil rapid test positif dan ada peningkatan suhu tubuh, tim membawa mereka ke tempat karantina untuk melakukan uji lab lanjutan berupa swab yang akan diperiksa dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Sampel tersebut sudah bisa diuji di Laboratorium RSUP Sanglah. Bagi pekerja migran yang hasilnya positif, akan dirawat ke RS PTN Universitas Udayana, RSUP Sanglah, atau RS Bali Mandara.
Imported Case ini bisa menjadi salah satu jawaban mengapa hingga akhir Maret, kasus di Bali cenderung landai. Awal Maret, Imported case memang dibawa oleh para turis. Saat itu, pemprov Bali mengambil langkah untuk mencegah menyebaran dengan melakukan uji laboratorium pada 100 orang Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang pernah berinteraksi dengan 2 turis WNA tersebut. Hasilnya, rata-rata negatif.
Namun, setelah para pekerja migran masuk, dengan gelombang kedatangan tinggi sekitar 5.000 orang di awal April, perlahan kasusnya mulai meningkat. Di sisi lain, jumlah kedatangan turis asing juga cenderung menurun seiring dengan terjadinya wabah dan pemberlakuan pembatasan di negaranya masing-masing. Tercatat pada Februari lalu, jumlah turis asing menurun 31 persen dari bulan sebelumnya.
Hingga 22/4, dari 152 kasus, imported case masih mendominasi (115 kasus). Diperkirakan, kasus penularan dari luar ini masih akan meningkat seiring dengan gelombang kepulangan para pekerja migran yang sampai saat ini sudah sekitar 10.935 orang.
Transmisi Lokal
Kasus mulai melonjak tinggi pada tanggal 09/04 menjadi 63 kasus. Catatan laman Infocorona Bali, dari 63 kasus tersebut, 29 penderitanya terpapar dari transmisi lokal. Hal ini berarti penularan antar warga Bali sudah mulai terjadi. Mereka rata-rata memiliki riwayat kontak langsung dengan kasus positif Covid sebelumnya.
Hingga data terakhir (22/4), pola persebaran penyakit ini semakin terlihat. Berpusat di Kota Denpasar di selatan Bali, kemudian ke timur dan ke Selatan. Sebagian wilayah tersebut merupakan kawasan Metropolitan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) dan kawasan wisata.
Pasien Transmisi lokal juga bertambah menjadi 27 orang. Meski angkanya lebih kecil dibandingkan dengan imported case, tapi berarti himbauan pemerintah untuk berdiam diri di rumah, serta menggunakan masker belum sepenuhnya dilaksanakan.
Mobilitas penduduk di kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan cukup tinggi. Statistik Komuter (BPS, 2019) mencatat, ada 127.660 (9 persen) komuter yang bergerak setiap hari dari rumah menuju tempat aktivitas di empat wilayah tersebut.
Kota Denpasar menjadi pusat tujuan pergerakan dari tiga wilayah lainnya. Pergerakan terbesar dilakukan oleh komuter Denpasar (79.723 orang) yang mayoritas bermobilitas ke Kab. Badung. Sebaliknya, 37.739 warga Badung juga berkomuter ke Kota Denpasar. Adapun warga 28.377 warga Gianyar mayoritas bergerak ke Kota Denpasar.
Pergerakan yang cukup tinggi tersebut jika tidak dibatasi, akan berpotensi menyebarkan virus transmisi lokal. Kunci menghentikan penyebaran virus ini adalah menjaga jarak antar orang dan mengurangi pergerakan. Meskipun virus tidak menyebar melalui udara, tapi virus dapat menempel pada benda-benda di fasilitas umum yang jika sengaja tak tersentuh oleh tangan akan bisa masuk ke tubuh melalui mulut, hidung dan mata.
Mengurangi Pergerakan
Sejak munculnya kasus positif di Bali pada pertengahan Maret lalu, Pemprov Bali telah mengeluarkan sejumlah kebijakan. Diantaranya berupa himbauan, Instruksi Gubernur, ataupun Surat Edaran yang isinya meminta warga untuk tetap tinggal di rumah dan melarang kegiatan yang melibatkan banyak orang.
Diawali dengan larangan Pawai Ogoh-Ogoh pada 19/03 yang biasanya dilakukan seminggu sebelum Hari Raya Nyepi. Saat itu, kasus positif Covid-19 baru dua orang dan satu orang meninggal. Larangan tersebut dipatuhi meski sebenarnya pawai Ogoh-Ogoh jelang Nyepi selalu dinantikan warga Bali .
Sehari setelah Nyepi, Gubernur Bali mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Bali No. 45/Satgas Covid 19/III/2020. Isinya, menghimbau seluruh masyarakat Bali untuk tetap di rumah pada Hari Ngembak Geni (26/03). Himbauan untuk bekerja, belajar, beribadah di rumah, menutup pusat hiburan malam, serta tidak menutup jalan ini berlaku sampai 30 Maret.
Setelah surat edaran tersebut keluar, Gubernur masih mengeluarkan sejumlah himbauan lainnya untuk mengurangi interaksi fisik dan aktifitas-aktifitas di luar rumah, mengurangi atau menunda perjalanan ke Bali atau keluar Bali. Bahkan juga meminta meniadakan kegiatan agama dan adat yang mengumpulkan banyak massa.
Aturan tersebut dipatuhi oleh semua warga Bali, baik penduduk lokal ataupun pendatang. Maurin (42), warga pendatang di Denpasar menceritakan, saat Nyepi diperpanjang sehari, semua warga mematuhi untuk tidak beraktifitas di luar. Hanya saja warga boleh menyalakan listrik. Bahkan hingga saat ini, meski tidak ada aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Bali, pukul 19.00 jalanan di Kota Denpasar sudah sangat sepi.
Pemprov Bali menaikkan status Siaga Darurat menjadi Tanggap Darurat Bencana akibat Virus Korona pada 30/03. Pada tanggal yang sama, melalui Surat Edaran Gubernur Bali No. 730/7385, masa pelaksanaan bekerja bagi ASN di rumah diperpanjang hingga 21 April.
Itu belum cukup, Gubernur Bali pada tanggal 02/04 mengeluarkan Instruksi No. 8551 mengenai Penguatan Pencegahan dan Penanganan Covid-19 di Bali. Instruksi tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan atas Peraturan Pemerintah mengenai PSBB.
Isinya, kurang lebih sama dengan himbauan yang telah dikeluarkan sebelumnya. Diantaranya, memperkuat pembatasan warga beraktifitas di rumah, kegiatan keramaian dan obyek wisata, kegiatan adat dan agama, serta kegiatan melakukan perjalanan keluar atau masuk ke Bali.
Peran Desa Adat
Kebijakan pemerintah tersebut diperkuat dengan pembentukan Surat Keputusan Bersama antara Pemprov Bali dengan Majelis Adat Provinsi Bali mengenai Pembentukan Satgas Gotong Royong Pencegahan Covid-19 Berbasis Desa Adat. Selama ini Desa Adat mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Tugas Satgas Desa Adat tertulis dalam SK tersebut adalah melakukan pencegahan Covid-19 secara sakala dan niskala. Tugas secara sakala adalah mencegah Covid-19 dengan menyiapkan masker, dan sarana cuci tangan, mengarahkan warga agar tidak berkunjung ke tempat keramaian dan mendata warga desa yang kembali ke Bali, hingga melaporkan kasus ODP baru ke puskesmas terdekat.
Salah satu perwujudan Satgas Desa Adat adalah membuat karantina parsial di masing-masing desa adat. Menurut Wayan Krastawan, akademisi Universitas Udayana dalam Diskusi Webinar “Bagaimana Bali Bertahan Menghadapi Covid-19”, karantina parsial yang dijaga oleh Pecalang ini menjadi semacam sarana untuk melaksanakan physical distancing dengan tetap berdiam diri di rumah.
Sistem karantina parsial dijaga oleh pacalang yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di dalam desa Adat. Pacalang ini menurut Putu (31) warga Gianyar, akan berjaga di pintu masuk desa/kampung. “Mereka akan berjaga seperti saat Nyepi”, jelas Putu lagi.
Sebelum warga/tamu memasuki desa/kampung, pacalang akan mengukur suhu tubuh. Jika suhu tubuh tamu meningkat, mereka dengan sopan akan meminta tamu tersebut untuk tidak masuk ke dalam kampung dulu, cerita Putu.
Jam malam yang diterapkan masing-masing desa bervariasi, antara pukul 19.00 hingga 22.00. Namun menurut Putu, di kampungnya tidak ada jam malam, hanya ada surat edaran untuk membatasi jam operasional tempat-tempat usaha. Pembatasan tersebut otomatis akan membatasi pergerakan orang.
Masing-masing desa juga mempunyai cara yang unik untuk mencegah penyebaran virus. Di beberapa desa memasang spanduk-spanduk dengan seruan “De Bengkung” yang artinya jangan keras kepala, supaya warga patuh untuk tetap tinggal di rumah. Kemudian ada pengumuman “Kawasan Wajib Masker”, bagi yang tidak menggunakan masker dilarang masuk.
Setidaknya usaha yang dilakukan oleh Desa Adat untuk mencegah penyebaran Covid-19 cukup efektif, dengan kecilnya angka transmisi lokal. Kepatuhan warga ini mengutip dari artikel Historia “Di Balik Lambatnya Kasus Covid-19 di Bali” juga terkait dengan empat guru utama (catur guru) yang harus dipatuhi. Diantaranya, pendeta, sebagai guru pengajian, pemerintah sebagai guru wisesa, apa yang termuat dalam kitab sebagai guru swadhayaya dan orang tua sebagai guru rupaka.
Dengan mematuhi aturan ataupun himbauan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pemuka adat, warga percaya bisa melewati wabah ini dengan baik. Di sisi lain, warga juga sudah menyadari virus ini cukup mematikan.
Kasus kematian WNA kasus kedua di atas sepeda motor bisa menjadi cermin bagaimana penyakit menular ini cukup berbahaya. Bahkan terjadinya kasus penolakan pada sejumlah PMI juga menjadi gambaran bahwa masyarakat Bali ingin supaya penyebaran virus tidak meluas .
Satu lagi tugas gugus tugas desa adat yang tidak ada di tempat lain, yakni tugas secara niskala, yakni berdoa. Perwujudannya, melaksanakan upacara Nunas Ica Bersama Pamangku di Pura Desa Adat sampai Covid-19 berakhir. Juga memohon kepada Ida Bhatara Sasuhunan sesuai dengan Drestha Desa Adat setempat agar wabah segera berakhir.
Melihat pola penyebaran Covid-19 yang lebih didominasi oleh kasus impor dari pekerja migran yang pulang ke Bali tetap akan terjadi peningkatan. Namun laju peningkatannya tidak tinggi, asal pemeriksaan ketat di Bandara masih dilakukan yang dilanjutkan oleh proses karantina oleh pemerintah ataupun mandiri.
Tantangannya sekarang ini adalah memperkecil angka kasus transmisi lokal dengan meningkatkan peran desa adat dan kesadaran masyarakat untuk tetap tinggal di rumah, memakai masker, melakukan pola hidup bersih sehat, dan terus memanjatkan doa kepada Sang Hyang Widhi. Langkah pemerintah dan masyarakat Bali ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain untuk mengurangi penyebaran penyakit Covid-19. (M. Puteri grafis cara bali menekan koronagrafis cara bali menekan koronaRosalina/Litbang Kompas)